MONDOK SEBAGAI SOLUSI PENDIDIKAN ZAMAN INI
ditulis oleh Gus Tajul Mafachir Muhtarom
Mengawali tulisan singkat saya di Mading Al Fikroh ini, saya ingin bercerita sedikit tentang kisah Ibrahim Alaihissalam; ayahnya para Nabi, ayahnya kita semua (QS Al Hajj : 78), tentang bagaimana cara beliau mendidik anaknya.
Menurut saya, salah satu indikator dan alasan kenapa Ibrahim disebut sebagai Ayah, bukan semata karena seluruh agama samawi berawal dari beliau, namun juga karena sikap dan pola pendidikan yang beliau berikan sebagai ayah kepada anaknya; ismail dan ishaq.
Diceritakan bahwa Ibrahim dengan segala kekayaannya (QS An Nisa’ : 54) memilih untuk tidak memanjakan anaknya yang sejatinya sudah ia nantikan sejak lama. Ia tidak membuatkan rumah mewah dengan segala fasilitasnya untuk sang anak, tidak juga menyewa pembantu untuk memenuhi segala kebutuhan si kecil Ismail, tidak menuruti semua keinginannya, tapi malah justru Ibrahim membawa anak yang dirindukan kehadirannya itu ke lembah yang tandus dan tidak ada tanaman. Bukan tanpa alasan, Ibrahim memilih lembah tersebut untuk membesarkan anaknya adalah karena lokasinya yang dekat dengan baitullah.
Jika kita telisik, apa tujuan Ibrahim membawa si kecil Ismail ke lembah gersang nan tandus tersebut?, alih-alih membuatkan rumah mewah dan lengkap segala fasilitasnya. Eh ternyata maksud Ibrahim tersebut Allah abadikan dalam Al Qur’an, yaitu ‘tuhanku, agar ia mendirikan sholat’. Luar biasa, Ibrahim yang seorang Nabi tetap menginginkan anaknya termasuk golongan orang-orang sholeh, dan yang perlu digaris bawahi adalah, bagaimana konsep pendidikan yang Ibrahim pilih, bukan memberikan fasilitas serba mewah dan memenuhi semua keinginan sang anak, tapi malah menempatkannya di tempat yang gersang lagi tandus namun dekat dengan spiritualitas, dalam hal ini baitulah.
Dan anda tahu bagaimana produk sumber daya manusia yang dididik dengan konsep pendidikan seperti ini? Dia adalah Nabi Ismail Alaihissalam, yang ketika ditanya ayahnya perihal mimpi yang didapatkan untuk menyembelihnya, ia jawab dengan tegas dan lugas, ‘wahai ayahku lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. Sebuah jawaban berkelas dari seorang anak yang lahir dari konsep pendidikan ala Ibrahim Alaihissalam.
Jika kita turunkan dalam sebuah rumusan, bagaimana konsep pendidikan yang Ibrahim terapkan kepada anaknya? Mari kita perincikan lalu tarik kesimpulan, lembaga pendidikan mana yang paling relevan dengan konsep Ibrahim ini, yang terbukti telah melahirkan Ismail, anak cerdas yang teguh keimanan dan memiliki karakter kuat.
- Ibrahim senantiasa menyebut anaknya dalam setiap doa dan munajat.
- Ibrahim tidak memanjakan anaknya dengan fasilitas mewah dan tidak memenuhi semua keinginannya.
- Ibrahim membentuk sikap kemandirian sang anak dengan cara dibawa ke tempat yang tandus dan gersang namun dekat dengan nuansa agama, yaitu Baitullah.
Saya akan fokus pada poin terakhir, dimana ini merupakan kunci wujud ikhtiar lahiriyah Ibrahim dalam mendidik anaknya. Kita soroti tempat yang ia pilih, jika kita turunkan, ternyata ada dua kriteria penting dalam memilih tempat yang cocok untuk pendidikan dan tumbuh kembang anak;
- Tempat tersebut harus bisa melatih kemandirian dan rasa perjuangan
- Tempat tersebut harus dekat dengan nuansa agama dan spiritual.
Jika saya bertanya, tempat apakah yang memenuhi dua kritria tersebut? Ya, tak lain dan tak bukan jawabannya adalah pondok pesantren. Sebuah lembaga pendidikan yang mengintegrasikan antara kecerdasan intelektual, emosional, social dan spiritual dengan disiplin tinggi dan keterbatasan akses alat komunikasi, transportasi serta mobilitas yang jelas mampu membentuk jiwa kemandirian anak.
Dengan pola pendidikan yang demikian, seharusnya pesantren mampu menjadi jawaban dari tantangan zaman saat ini, dimana kebanyakan orang hanyut dalam teknologi dan pencapaian IQ tapi mengesampingkan kecerdasan emosional, social, dan spiritual. Pesantren sharusnya mampu melahirkan Ismail-Ismail masa kini, yang memiliki kecerdasan intelektual karena tahu perintah menyembelih adalah wahyu Ilahi, yang memiliki kecerdasan emosional karena mampu mengatur hati untuk dengan suka rela disembelih, yang memiliki kecerdasan spiritual keimanan bahwa penyembelihan ini merupakan jalan ketaqwaan, dan yang memiliki karakter sabar walaupun harus berhadapan dengan bilah pisau di lehernya.
Maka ada sebuah pertanyaan besar, lalu seperti apa produk sumber daya manusia yang dilahirkan pesantren saat ini? Apakah sudah sesuai dengan harapan? Sudahkah kita menjadi Ismail masa kini? Sungguh, jawaban ada di diri kita masing-masing sebagai santri.
0 Komentar